Detroit – Become Human: Ulasan Mendalam tentang Pilihan Moral dan Narasi yang Menggetarkan

Detroit: Become Human: Ketika Kemanusiaan dan Teknologi Bertabrakan

Di tengah gemerlap dunia game yang dipenuhi aksi cepat dan grafis memukau, Detroit: Become Human hadir dengan sesuatu yang berbeda: sebuah pengalaman naratif yang menusuk jiwa. Dibuat oleh Quantic Dream, game ini bukan sekadar tontonan interaktif, melainkan cermin yang memaksa kita bertanya: Apa artinya menjadi manusia?

Dunia yang Hidup, Cerita yang Menghantui

Detroit 2038: android canggih mengisi setiap sudut kehidupan manusia, dari pelayan kafe hingga pengasuh anak. Tapi ketika mesin-mesin ini mulai memberontak, tiga karakter androdi—Connor, Kara, dan Markus—membawa pemain dalam perjalanan penuh dilema. Setiap keputusan, dari dialog sederhana hingga tindakan drastis, mengubah jalannya cerita seperti efek domino.

Yang membuat game ini istimewa adalah konsekuensi yang nyata. Membiarkan karakter sekunder terluka di bab awal bisa mengubah akhir cerita 5 jam kemudian. Bahkan pilihan “kecil” seperti merapikan mainan anak atau mengabaikannya bisa menjadi simbolik bagi perkembangan hubungan antar karakter.

Karakter yang Membekas di Hati

  • Connor, android detektif yang terpecah antara tugas dan empati.
  • Kara, pengasuh android yang berjuang melindungi anak manusia.
  • Markus, pemimpin pemberontakan yang mempertanyakan makna kebebasan.

Setiap karakter memiliki story arc yang tertaut rapi, dengan momen-momen “keputusan besar” yang membuat tangan gemetar. Siapa sangka, adegan Kara menyetir mobil menghindari polisi bisa membuat jantung berdebar layaknya adegan kejar-kejaran di film blockbuster?

Pilihan Moral: Cermin bagi Pemain

Inilah inti dari Detroit: Become Human. Game ini tidak menghakimi, tetapi memaparkan pertanyaan filosofis melalui interaksi:

  • Haruskah android mengorbankan diri untuk manusia?
  • Apakah kekerasan dibenarkan demi kebebasan?
  • Bisakah mesin memiliki jiwa?

Sebuah adegan di tengah game, di mana Markus harus memilih antara demonstrasi damai atau serangan frontal, terasa seperti parodi tajam atas gerakan sosial di dunia nyata.

Visual Cinematik dan Detil yang Memukau

Dari hujan yang menggenang di jalanan Detroit hingga ekspresi mikro wajah karakter, Quantic Dream membawa standar grafis game naratif ke level baru. Adegan-adegan seperti Markus melukis di atap gedung atau Kara menyusun mainan di kamar kotor layak dijadikan wallpaper.

Lebih dari Sekadar Game: Refleksi atas Realita

Di era AI seperti ChatGPT dan deepfake, kisah Detroit: Become Human terasa semakin relevan. Game ini mengajak kita merenung: Di mana batas antara manusia dan mesin? Apakah kesadaran adalah hak eksklusif makhluk biologis?

Kesimpulan: Sebuah Mahakarya yang Wajib Dimainkan

Detroit: Become Human bukanlah game biasa. Ini adalah novel interaktif, film pilihan, dan simulator filsafat dalam satu paket. Meski ada beberapa dialog yang agak kaku, game ini berhasil menciptakan pengalaman yang personal—setiap pemain akan membawa cerita unik versinya sendiri.

Bagi yang belum mencoba: siapkan 15 jam waktu terbaikmu. Untuk yang sudah tamat: coba jalur berbeda. Siapa tahu, kali ini kamu akan membuat Markus jadi… lebih manusiawi.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *