Days Gone Review: Perjalanan Lambat yang Menghasilkan Kepuasan Tak Terduga
Ada sebuah mantra dalam dunia game: “Jangan nilai buku dari sampulnya.” Tapi bagaimana jika sampulnya justru menipu? Days Gone awalnya terasa seperti game zombie biasa—motor, senjata, dan horde yang menyeramkan. Tapi di balik permukaan yang tampak klise, Bend Studio menyembunyikan kisah yang dalam, karakter yang kompleks, dan dunia yang… perlahan-lahan membakar jiwa.
Dunia yang Hidup (Tapi Membutuhkan Waktu untuk Bernapas)
Peta Oregon yang luas di Days Gone ibarat lukisan cat minyak: indah dari jauh, tapi baru terasa magis saat Anda mendekat. Awalnya, menjelajahi hutan dan reruntuhan dengan motor yang rewel terasa seperti tugas. Bensin mudah habis, musuh datang bergelombang, dan misi “ambil barang dari titik A ke B” terasa repetitif.
Tapi di jam ke-5, sesuatu berubah. Anda mulai hafal celah-celah jalan shortcut, tahu kapan harus kabur dari serangan Freaker, dan—yang paling penting—mulai peduli pada Deacon St. John, sang protagonis berkulit keras tapi berhati luka. Hubungannya dengan sang istri, Sarah, bukan sekadar flashback biasa. Ini adalah puzzle emosional yang baru lengkap di akhir babak.
Motor Bukan Sekadar Kendaraan, Tapi Karakter Utama
Bayangkan The Last of Us bertemu Mad Max, tapi dengan sepeda motor sebagai tokoh pendamping. Motor Deacon adalah jantung gameplay: ia perlu dirawat, di-upgrade, dan kadang jadi satu-satunya teman di tengah hutan sepi. Saat hujan membuat mesin mogok, atau ban kempes di tengah serangan horde, Anda akan mengutuk sekaligus jatuh cinta pada mekanik ini.
Horde: Dari Ngos-ngosan sampai Euforia
Pertarungan melawan 500 zombie sekaligus awalnya seperti mimpi buruk. Amunisi terbatas, bom molotov kadang meleset, dan lari sambil terengah-engah jadi rutinitas. Tapi begitu Anda menemukan ritmenya—memancing horde ke jebakan, menembak tangki bensin, lalu menyaksikan ledakan spektakuler—rasanya seperti memimpin simfoni kekacauan.
Masalah Teknis & Pacing yang Nganggur
Days Gone tak sempurna. Ada frame rate yang kadang tersendat seperti motor Deacon, dialog sampingan yang klise (“Kita harus kuat, brother!“), dan bagian tengah yang terasa seperti filler episode. Tapi seperti serial TV yang lambat, klimaksnya membayar semua kesabaran. Adegan antara Deacon dan Boozer di tengah api unggun, misalnya, adalah momen yang lebih menyentuh daripada kebanyakan film Hollywood.
Verdict: Untuk yang Suka Berlama-lama di Api Unggun
Jika Anda mencari aksi fast-paced ala Call of Duty, Days Gone mungkin akan membuat menguap. Tapi bagi yang rela berinvestasi waktu, game ini seperti anggur merah: makin tua, makin terasa kekayaannya. Dengan narasi yang dalam, dunia yang hidup (meski kadang terlalu sunyi), dan momen-momen “holy shit!” yang tertata rapi, Days Gone membuktikan bahwa kadang, yang lambat justru yang paling berkesan.
Rating: 8/10 – Sebuah permata kasar yang butuh polesan kesabaran.